INFLASI, BAIK ATAU BURUK
Oleh
: Muhammad Ali Mustofa
Inflasi merupakan suatu proses kenaikan
harga-harga umum barang-barang secara terus menerus (Nopirin, 1987:25). Menurut
Friedman (1976) inflasi adalah suatu fenomena moneter yang selalu terjadi
dimana pun. Ada beberapa teori yang menjelaskan penyebab terjadinya inflasi, diantaranya yaitu Adanya penambahan volume
jumlah peredaran uang yang menyebabkan perputaran uang menjadi tinggi di
masyarkat (Teori Kuantitas) keinginan manusia untuk hidup diluar batas
kemampuan ekonominya (Teori Keynes) serta terjadinya kekakuan struktur ekonomi
di negara berkembang hal ini disebut juga teori inflasi jangka panjang (Teori
Strukturalis).
Teori diatas menyebabkan jenis-jenis
inflasi, seperti inflasi yang terjadi akibat dari banyaknya permintaan
masyarakat yang melebihi kapasitas barang yang tersedia. permintaan terhadap
suatu barang sehingga produsen menaikan harga barang untuk mengurangi jumlah permintaan yang ada (Demand Full Inflation). Adapun inflasi yang terjadi karena adanya penurunan
penawaran terhadap barang-barang dan jasa karena adanya kenaikan dalam biaya
produksi yang mengakibatkan produsen meningkatkan harga produksinya (Cost-Push Inflation). Selain itu juga karena adanya banyaknya uang yang
beredar di masyarakat (Quantity Theory
Inflation). Hal ini menyebabkan munculnya stigma di masyarakat bahwasanya
inflasi itu merupakan suatu hal buruk yang terjadi.
Namun stigma tersebut tidak
sepenuhnya benar, karena menurut William Philips Inflasi itu berhubungan negatif dengan pengurangan tingkat
pengangguran. Dengan adanya teori tersebut membuktikan Inflasi itu mempunyai dampak
positif bagi perekonomian, namun hal itu dilihat dari jangka pendek.
Selain itu dilihat dari ilmu ekonomi Inflasi itu dibutuhkan oleh suatu negara
untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi. Sehingga cara penangannya juga berada
pada kebijakan pemerintah. Jadi, inflasi bisa menjadi baik, tetapi bisa juga
menjadi buruk. Bagaimana cara melihatnya?
Memang benar inflasi merupakan salah
satu hal yang merugikan bagi masyarakat, karena ketika inflasi naik maka
tingkat kesejahteraan masyarakat akan menurun. Karena dengan adanya inflasi
membuat daya beli (konsumsi) mereka akan menurun, khususnya bagi masyarakat
yang berpenghasilan tetap dan berpenghasilan rendah. Selain itu, juga membuat
stabilisasi ekonomi menjadi terganggu. Inflasi mengganggu stabilitas ekonomi
dengan merusak perkiraan di masa yang akan datang bagi para pelaku ekonomi.
Inflasi yang kronis akan menimbulkan
perkiraan barang dan jasa akan terus meningkat, sehingga menimbulkan efek
peningkatan jumlah pembelian oleh konsumen dari jumlah biasanya dengan alasan
sebagai prinsip jaga-jaga untuk berhemat. Hal itu menyebabkan permintaan barang
dan jasa dapat mengalami kenaikan, yang juga memberikan dampak pengaruh
terhadap pendapatan negara dalam bidang Ekspor Impor. Ketika harga barang
produksi dalam negeri meningkat, maka otomatis barang ekspor dalam negeri
kurang diminati oleh masyarakat luar negeri karena harganya lebih mahal. Selain
itu juga mendorong pemerintah untuk melakukan subsidi impor agar harga di dalam
pasar cenderung menjadi stabil. Inflasi juga menyebabkan jumlah investasi di
sektor riil berkurang karena ketika inflasi meningkat maka pemerintah akan
meningkatkan suku bunga bank, sehingga masyarakat lebih cederung untuk menabung
daripada berinvestasi di sektor riil.
Berbeda halnya dengan salah satu Ahli ekonom asal Inggris yang bernama A.W. Philips yang memperlihatkan bahwa tahun-tahun dengan tingkat pengangguran yang rendah cenderung disertai oleh inflasi yang tinggi, dan tahun-tahun dengan tingkat pengangguran tinggi cenderung disertai dengan inflasi yang rendah (Samuelson, 1985). Selain itu dia juga berasumsi bahwa inflasi merupakan cerminan dari adanya kenaikan permintaan agregat. Dengan naiknya permintaan agregat, maka sesuai dengan teori permintaan yaitu jika permintaan naik maka harga akan naik. Dengan tingginya harga (inflasi) maka untuk memenuhi permintaan tersebut produsen meningkatkan kapasitas produksinya dengan menambah tenaga kerja (tenaga kerja merupakan satu-satunya input yang dapat meningkatkan output). Akibat dari peningkatan permintaan tenaga kerja maka dengan naiknya harga-harga (inflasi) maka pengangguran berkurang.
(gambar kurva Philips)
Dari kurva diatas dapat diketahui ketika
inflasi berada di tingkat 6% maka pengangguran berada di tingkat 3%, sedangkan
ketika inflasi mengalami penurunan sebesar 2% maka pengangguran akan meningkat
sebesar 5%. Hal ini membuktikan bahwa inflasi dan pengangguran mempunyai
hubungan negatif.
Teori ini juga diperkuat dengan Indeks
Kesengsaraan (Misery Index) yang
membahas tentang tingkat inflasi dengan pengangguran. Indeks ini juga dimaknai
sebagai dilema bahwa setiap masyarakat memang diuntungkan oleh turunnya
inflasi, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan juga dirugikan akibat kebijakan
pengangguran. Artinya, penurunan inflasi misalnya sebesar 1% akan dimentahkan
oleh kenaikan biaya-biaya sosial yang disebabkan oleh kenaikan jumlah
pengangguran sebesar 1% pula. Akibatnya masyarakat tidak mengalami perubahan
selama tingkat inflasi pada tingkat pengangguran saling mementahkan satu sama
lain yang pada akhirnya membuat tingkat
kesengsaraan sosial di masyarakat tidak berubah (Gordon, 1983. Blancard and
Sheen, 2007 dalam Hossain, 2010:137)
Teori diatas mungkin menimbulkan banyak
pertanyaan mengenai implikasi hubungan inflasi dengan pengangguran di Indonesia.
Seperti yang kita ketahui Perkembangan inflasi di Indonesia menunjukkan
fluktusi yang bervariasi dari waktu ke waktu. Inflasi mulai menjadi perhatian
ketika adanya krisis pada tahun 1960-an dimana Indonesia mengalami hiperinflasi
sebesar 650 persen sehingga perekonomian terguncang dengan hebat, tetapi
tekanan tersebut dapat diatasi dengan menerapkan kebijakan anti-inflasi, sehingga
pada Repelita II, III, dan IV inflasi menurun menjadi sebesar 14.77 persen,
13.6 persen dan 6.9 persen. Kemudian krisis kembali menghantam negeri ini pada
tahun 1997-1998 yang berdampak pada semua aspek kehidupan, salah satunya adalah
inflasi yang mencapai 58.4 persen.
Di dalam sebuah penelitian disebutkan
bahwa hubungan inflasi dan pengangguran tidak terdapat hubungan yang signifikan
di Indonesia. Bahkan dalam sebuah penelitian yang lain dijelaskan hubungan
antara inflasi dengan pengangguran mempunyai hubungan positif. Hubungan positif
ini terutama terjadi pada negara-negara dengan pertumbuhan populasi yang
tinggi. Hal ini karena pertumbuhan populasi yang tinggi dapat mengakibatkan
pertumbuhan yang tinggi pula terhadap angkatan kerja, sehingga jika lapangan
kerja tidak mampu menyerap semua perubahan tersebut, pengangguran akan tetap meningkat.
Hubungan positif antara inflasi dan
pengangguran dalam kurva philips ini bisa saja menunjukan fenomena inflasi yang
berupa cost push inflation atau
dorongan penawaran. Inflasi ini
terjadi apabila penurunan penawaran terhadap barang dan jasa akibat karena
adanya tambahan biaya dalam faktor produksi, yang diakibatkan oleh keinginan
meningkatnya tingkat upah riil pekerja karena adanya ekspetasi bahwa inflasi
akan terus meningkat. Peningkatan ini membuat produsen mengurangi jumlah
produksinya dibawah tingkat produksi optimal, sehingga akan meningkatkan harga
dan mengurangi jumlah tenaga. Namun jika kita melihat upah di indonesia jumlah
upah pekerja cenderung sulit untuk mengalami kenaikan sehingga inflasi tidak
berpengaruh signifikan pada kenaikan upah. Sulitnya upah untuk naik juga dapat
disebabkan oleh masih relatif lemahnya serikat buruh di Indonesia, sehingga
negosiasi upah pekerja terhadap perusahaan juga masih relatif lemah.
Tingkat inflasi yang tidak berpengaruh
terhadap pengangguran di Indonesia diduga disebabkan oleh pertumbuhan angkatan
kerja yang tinggi dan adanya kekakuan harga dan upah. Pertambahan jumlah lapangan
kerja yang disediakan dari lapangan kerja yang tersedia setiap tahunnya tidak
sesuai dengan pertambahan jumlah angkatan kerja dan jumlah pengangguran tahun
sebelumnya berpengaruh terhadap tingkat pengangguran.
Teori mengenai kurva philips menuai kritikan
dimulai dengan tanggapan Milton Friedman pada tahun 1976 yang mengatakan bahwa
teori dasar dari kurva Phillips ini hanya terjadi pada jangka pendek, tetapi
tidak dalam jangka panjang, karena pada jangka pendek masih berlaku harga kaku (sticky
price), sedangkan pada jangka panjang berlaku harga fleksibel. Dengan kata
lain, tingkat pengangguran bagaimanapun juga akan kembali pada tingkat
alamiahnya, sehingga hubungan yang terjadi antara inflasi dan pengangguran ini
menjadi positif. Tanggapan ini juga dikenal dengan Natural Rate Hypothesis atau
Accelerationist Hypothesis (Samuelson, 1985).
Dengan demikian bukan berarti inflasi
hanya berimbas kepada segi negatif saja, akan tetapi juga mempunyai segi
positif jika inflasi itu redah dan stabil. Akan tetapi apabila inflasi dalam angka minus bisa menjadi
menjadi boomerang karena jumlah permintaan yang sangat tinggi dan menyebabkan
timbulnya harga yang sangat mahal karena keterbatasan stok produksi. Selain itu
perusahaan juga akan PHK karyawannya karena biaya marjinal akan menjadi lebih
tinggi, hal itu menyebabkan pengangguran meningkat dan perekonomian menjadi
chaos disuatu negara.
Melalui Inflation Targeting Framework (ITF) yang merupakan kerangka kerja
kebijkan moneter Bank Indonesia yang tercermin pada penetapan dan pengumuman
sasaran inflasi sebagai tujuan utama kebijakan moneter, penjelasan periodik
kepada masyarakat mengenai pelaksanaan kebijakan moneter yang ditempuh, maupun pemberian
independensi kepada Bank Indonesia dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan
moneter. Secara umum, kerangka kerja ini diyakini dapat membantu bank sentral
untuk mencapai dan memelihara kestabilan harga dengan berdasarkan pada proyeksi
dan target inflasi tertentu ke depan (BI, 2008).
Inflation Targeting Framework (ITF)
merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman
kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa
periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan
stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter. Penerapan ITF bukan
berarti bahwa bank sentral hanya menaruh perhatian pada inflasi saja dan tidak
lagi memperhatikan pertumbuhan ekonomi maupun kebijakan dan perkembangan ekonomi
secara keseluruhan. ITF bukanlah suatu kaidah yang kaku (rule) tetapi sebagai
kerangka kerja menyeluruh (framework) untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan
moneter. Fokus terhadap inflasi tidak berarti membawa perekonomian kepada kondisi
yang sama sekali tanpa inflasi (zero inflation). Inflasi rendah dan stabil
dalam jangka panjang justru akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
(suistanable growth).
Komentar
Posting Komentar