PERLUNYA SEORANG GURU DALAM BERHIJRAH
Hijrah secara harfiah berarti meninggalkan. Dan sering dimaknai sebagai suatu proses perpindahan atau peralihan dari masa kelam menuju keadaan yang lebih baik secara islami, baik secara perbuatan ataupun penampilan dan sebagainya. Namun perlu diketahui juga bahwasanya hijrah juga membutuhkan seorang guru dalam membimbing perjalanan spiritual agar tidak salah dalam memahami konteks hijrah yang sebenarnya.
Namaku Toha Azhari seorang mahasiswa di salah satu Universitas di Jakarta. Aku bukanlah seorang santri yang memahami banyak tentang ilmu Agama, dan hanyalah seorang murid lulusan sekolah umum dan hanya sedikit memahami tentang ilmu Agama, berawal sejak kelas 9 SMP dan hanya bermodalkan suara yang bagus dalam membaca Al-Qur’an oleh karena itu banyak teman-temanku yang menganggap aku sebagai siswa yang pandai dalam pengetahuan agama islam, memang aku pernah belajar mengaji di TPQ, namun hanya sebatas belajar membaca Al-Qur’an.
Aku termasuk orang yang nakal, suka berkelahi dan membuli teman di Sekolah. Sehingga banyak dari mereka yang tidak suka dengan kepribadianku dan memilih untuk menjauh. Terkecuali teman yang sudah sangat dekat denganku. Selain nakal aku juga termasuk orang yang awam tentang agama. Pernah suatu hari aku diajak sholat Dhuha oleh teman sekelas yang bernama Bagus.
“Thoha..ayo sholat Dhuha bareng mumpung waktu istirahat” saut Bagus
“ohh iya Gus, duluan aja nanti aku nyusul hehe..” jawabku padanya
Aku menjawab seperti itu karena kenyaatannya aku belum tau cara sholat Dhuha. Sambil jajan dikantin aku terus memikirkan “apakah aku sebodoh itu sehingga sholat Dhuha saja tidak tahu bagaimana caranya?!!”
Sepulang sekolah aku langsung mencari buku tentang panduan sholat dari situ aku mempelajari tentang sholat sunnah. Keesokan harinya aku mulai mencoba untuk melaksanakan sholat Dhuha, hingga lama kelamaan menjadi kebiasaanku waktu jam istirahat pertama, dan pada saat itu juga kegemaranku dalam membaca buku ke-Islaman bertambah tanpa adanya guru pembimbing. Dari situlah muncul sifat sombong dalam diriku ini. Sebagaimana yang dikemukakan oleh sahabat Umar bin Khattab bahwasanya ilmu terbagi menjadi tiga tahap, “Ilmu ada tiga tahapan. Jika seseorang memasuki tahapan pertama, ia akan sombong. Jika ia memasuki tahapan kedua ia akan tawdhu’. Dan jika ia memasuki tahapan ketiga maka ia akan merasa dirinya tak ada apa-apanya”. Pada saat itu banyak teman yang sudah mengira bahwa aku sudah berhijrah dari masa kelam. Tak ayal pula teman-teman bertanya perihal agama kepadaku yang secara spontan aku jawab dengan berdalihkan dengan hadist “Sampaikanlah daripadaku walaupun hanya satu ayat”. Seringkali aku menyalahkan orang yang berbeda pendapat karena tidak sesuai dengan ilmu yang aku pelajari dan merasa bangga ketika dipanggil dengan sebutan ustad oleh temanku.
Kondisi berubah setelah adanya progam dauroh di pondok pesantren. setibanya di Pesantren aku pun kaget karena Pesantren tempat Dauroh adalah milik seorang Ulama yang terkemuka, disana kami diajarin hidup selayaknya seorang santri, mulai dari mengaji kitab, Qiyamulail, makan bareng satu wadah. Setiap hari kegiatan disana adalah mengaji kitab mulai dari fiqh, akhlaq, tauhid dan tajwid dengan bimbingan seorang guru yang selalu menjawab pertanyaan para santri ketika ada materi yang kurang dipahami sehingga menjadi lebih paham, dengan menggunakan akhlaq yang baik dalam mengatasi perbedaan serta memberikan sudut pandang yang banyak. Aku pun merasa adanya perbedaan yang luarbiasa. Karena sebelumnya ketika aku belajar tanpa seorang guru sewaktu mengalami kesusahan dalam memahami disitu tidak ada yang mengarahkan, membuat aku menggunakan pemahaman diri sendiri dan juga hanya menggunakan satu sudut pandang saja, dan merasa benar sendiri. pada malam hari ketiga ketika teman-temanku sudah tertidur dan hanya aku yang masih bangun sambil termenung didalam hati akan penyesalan waktu dulu betapa sombongnya aku yang bodoh akan tetapi berlagak seperti seorang pemuka agama, sambil menangis dan berdo’a, “Ya Allah, sesungguhnya Hamba yang bodoh, dan telah terpedaya oleh bisikan setan dan hawa nafsu, sehingga hamba yang penuh dengan kesombongan. Ampunilah hambamu yang penuh dosa ini ya Allah”.
Selepas dauroh di Pesantren banyak perubahan yang terjadi padaku bahkan orang lain mengatakan demikian, perubahan yang signifikan yaitu aku lebih giat dalam menghadiri pengajian atau majelis-majelis ilmu yang dibimbing langsung oleh seorang ustad atau kyai, termasuk ekstrakurikuler keagamaan di sekolah. aku teringat nasihat yang diberikan oleh ustad di Pesantren beliau mengutip hadist Rasulullah saw “Barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, Allah akan memudahkan jalan baginya menuju Surga” (HR.Muslim). Dari banyaknya pengajian yang aku ikuti banyak juga ilmu yang diperoleh dan belum aku ketahui, sewaktu aku mngikuti kegiatan ekstra keagamaan di sekolah aku menemukan konflik yang sama sepertiku diwaktu dulu, yaitu ada beberapa dari mereka generasi muda yang baru berhijrah dan baru belajar agama mudah menyalahkan ketika terjadi khilafiyah atau perbedaan pendapat mengenai perihal agama dan yang cukup mengharukan mereka berargument berdasarkan ilmu yang didapatkan melalui internet, karena pernah melakukan hal yang sama akupun merasa iba, banyak cara yang aku lakukan namun belum bisa menemukan solusi untuk memecahkan masalah tersebut, karena hanya mereka sendiri yang bisa mengubah pandangan tersebut. Permasalahan itu juga pernah aku tanyakan langsung kepada ketua MUI secara langsung ketika memasuki bangku perkuliahan, berhubung temanku adalah cucu beliau maka aku pun bisa dengan mudah untuk bersilaturahmi ke rumahnya, disitu kami banyak berdiskusi tentang problematika generasi muda jaman sekarang yang lebih suka mengaji lewat internet daripada melalui guru secara langsung disitu aku bertanya,
“Pak Yai, bagaimana hukumnya orang mengaji melalui Internet?”
“kalau hanya sekedar buat cari referensi hukumnya tidak apa-apa, akan tetapi jangan sampai meninggalkan jamiyyah(majelis) karena ketika kamu tidak paham dengan ilmu yang diperoleh kamu bisa menanyakan kepada gurumu secara langsung, supaya pemahamanmu benar dan tidak saling sesat menyesatkan” jawab beliau.
Setelah itu aku memahami kesimpulannya adalah bahwa dalam mencari ilmu harus mempunyai seorang guru sebagai pembimbing apalagi seseorang yang sedang berusaha untuk berhijrah, seorang guru ibarat lentera dan kompas yang menerangi bahtera dikala terjadi kegelapan malam dan badai dan menunjukan kearah yang dituju, karena ketika seorang murid kurang mengerti akan suatu pemahaman maka dia yang akan meluruskan dan memeberi petunjuk. Dari seorang guru pula akan didapati sebuah sanad keilmuan, salah satu ulama terkemuka Al Hafidh Imam Attsauri mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik atap rumah ranpa tangga”. Akan sangat berbahaya ketika seorang belajar agama tanpa seorang guru salah satu kasusnya yaitu sebagaimana aku pada masa SMP belajar ilmu agama tanpa mempunyai seorang guru, maka hasilnya akan mudah menyalahkan orang lain yang berbeda pendapat. Berbeda ketika setelah mengikuti dauroh podok pesantren, dengan adanya ustad yang membimbing aku mengetahui bahwasanya ilmu itu luas sehingga tidak bisa secara mudah untuk menghukumi seseorang, inti lain dari hijrah yaitu hijrah dimulai dari diri sendiri dan untuk diri sendiri, sebagaimana nasihat “Jika engkau ingin mengubah orang lain agar menjadi baik, maka ubahlah dirimu terlebih dahulu supaya menjadi lebih baik, agar mereka mampu mendapat contoh daripada apa yang kamu kerjakan.”
Komentar
Posting Komentar